Jumat, 25 Mei 2012

TAFSIR IBNU KATSIR SURAH AL-FATIHAH (BAG-1)


AL-FAATIHAH ( Pembukaan ) 
Surah Makkiyah Surah ke-1 : 7 ayat 

Pendahuluan 
Abu Bakar bin al-Anbari meriwayatkan dari Qatadah, ia menuturkan, surat-surat dalam al-Qur’an yang turun di madinah adalah surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisaa, al-Maaidah, Baraa-ah, ar-Ra’d, an-Nahl, al-Hajj, an-Nuur, al-Ahzab, Muhammad, al-Hujuraat, ar-Rahman, al-Hadiid, al-Mujadilah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, ash-Shaff, al-Jumu’ah, al-Munaafiquun, at-Taghaabun, at-Thalaaq, dan ayat “Yaa ayyuhannabiyyu lima tuharrimu” sampai pada ayat ke sepuluh, al-Zalzalah, dan an-Nashr. Semua surat itu di turunkan di madinah, sedangkan surat-surat lainnya di turunkan di Makkah. 

Jumlah ayat di dalam al-Qur’an ada 6.000 ayat. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah yang lebih dari enam ribu tersebut. Ada yang menyatakan tidak lebih dari enam ribu tersebut, ada pula yang menyatakan jumlahnya 6236 ayat. Yang terakhir ini disebutkan oleh Abu ‘Amr ad-Dani dalam kitabnya al-Bayan.

 Mengenai jumlah kata, menurut al-Fadl bin Syadzan dari ‘Atha’ bin Yasar, ada 77.439 kata. Sedangkan mengenai hurufnya, Salam Abu Muhammad al-Hamami mengatakan, al-Hajaj (al-Hajaj binYusuf) pernah mengumpulkan Qurra’ (ahli bacaan Qur’an), huffadz (para penghafal Qur’an) dan kuttab (para penulis Qur’an), lalu ia mengatakan : “ Beritahukan kepadaku mengenai al-Qur’an secara kesuluruhan, berapa hurufnya ?” Setelah dihitung, mereka sepakat bahwa jumlahnya 340.740 huruf. Kemudian al-Hajjaj mengatakan : “Sekarang beritahukan kepadaku mengenai pertengahan al-Qur’an.” Ternyata, pertengahan al-Qur’an itu adalah huruf “ fa” dalam kalimat “walyatalatthaf” pada surah al-Kahfi. 

Rabu, 23 Mei 2012

SYARAH RIYADHUS SHALIHIN BAB I (HADITS NO.1) IKHLAS DAN MENGHADIRKAN NIAT DALAM SEMUA PERBUATAN DAN UCAPAN, BAIK YANG TERANG-TERANGAN MAUPUN YANG SEMBUNYI

HADITS NO. 1

عن أمـيـر المؤمنـين أبي حـفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عـليه وسلم يـقـول : ( إنـما الأعـمـال بالنيات وإنـمـا لكـل امـرئ ما نـوى . فمن كـانت هجرته إلى الله ورسولـه فهجرتـه إلى الله ورسـوله ومن كانت هجرته لـدنيا يصـيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ). رواه إمام المحد ثين أبـو عـبـد الله محمد بن إسماعـيل بن ابراهـيـم بن  المغـيره بن بـرد زبه البخاري وابـو الحسـيـن مسلم بن الحجاج  بن مـسلم القـشـيري الـنيسـابـوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفه


1. Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khatab bin Nufail bin ‘abdil ‘Uzza bin Ka’ab bin Lu-ay bin Ghalib al-Qurasyiyyi al-‘Adawi, ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan seseorang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk kesenagan dunia yang didapatnya, atau karena wanita yang akan dinikahinya. Maka hijrahnya itu kepada hanya kepada apa yang diniatkannya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Diriwayatkan oleh dua Imam  Ahli Hadits : Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim  bin al-Mughirah bin Bardzbah al-Ju’fi al-Bukhari dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Nasaiburi dalam kedua kitab shahihnya, yang keduanya merupakan kitab yang paling shahih diantara kitab-kitab lainnya.

Pengesahan Hadits :
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/9-Fath), dan Muslim (1907).
Telah dinukil secara mutawatir (perkataan) dari para Imam dalam menghormati nilai Hadits ini. Tidak ada dalam Hadits Nabi yang lebih mencakup dan memadai serta lebih bermamfaat darinya, Sebab, ia merupakan salah satu Hadits yang menjadi poros Islam.

Senin, 21 Mei 2012

Apakah Nabi Shalallahu 'Alaihi wassalam Diciptakan dari Cahaya?

Tanya : "Sesungguhnya banyak orang yang meyakini bahwa segala sesuatu
diciptakan dari Nur (cahaya) Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam, dan
cahayanya diciptakan dari cahaya Allah. Mereka meriwayatkan (satu hadits): "Aku
adalah cahaya Allah dan segala sesuatu berasal dari cahayaku." Mereka pun
meriwayatkan hadits: "Aku adalah 'arab tanpa huruf 'ain, maksudnya Rab. Dan aku
adalah ahnmad tanpa huruf mim maksudnya ahad." Apakah riwayat ini ada asalnya ?

Jawab : Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
Wassalamtelah menerangkan tentang sifat dirinya bahwa dia adalah cahaya dari
cahaya Allah. Kalau maksud perkataan itu adalah bahwa dia cahaya yang berupa
zat dari cahaya Allah, maka ini menyimpang dari Al-Quran yang menunjukan
kemanusiaan beliau. Tapi apabila maksudnya bahwa dia adalah cahaya dalam arti
ajaran yang dibawanya berupa wahyu menjadi sebab ditunjukinya orang-orang
yang Allah kehendaki dari kalangan makhluknya, maka ini benar.

PETUNJUK TERBAIK HANYA ADA DI AL-QUR'AN Tafsir Surat Al-Isra ayat:9

 ان هذا القرءان يهدى للتى هى اقوم

"Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus ….[al-Isrâ`/17:9]

Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa 'Ala menyampaikan pujian terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`ân, sebagai kitab samawi paling agung dan paling luas cakupannya menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir, bersumber dari Rabbul-'Alamîn. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah, aturan-aturan, dan nasihat-nasihat yang dikandungannya, Al-Qur`ân ini menjadi faktor banyaknya manusia yang memperoleh hidayah, dan ia mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan lebih terang. Maksudnya, petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar dalam persoalan aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak [1].

Minggu, 20 Mei 2012

Download Murottal Syaikh Mishari Rashid MP3









Mendengarkan bacaan Al-Qur'an adalah termasuk Ibadah bagi kita umat Islam, apalagi bacaan tersebut baik dan benar menurut kaidah ilmu Tajwid ditambah lagi dibaca oleh seorang Qori bersuara emas, inilah dia Syaikh Mishari Rashid, seorang Qori yang berasal dari Kuwait, silahkan bagi yang ingin download klik di disini

BATALKAH WUDHU' DISEBABKAN KELUARNYA DARAH ?











Tanya:
Mohon penjelasan tentang apakah keluarnya darah dapat membatalkan shalat?

Jawab:
Alhamdulillah, kami belum mendapatkan dalil syar'i yang menjelaskan bahwa
keluarnya darah selain darah haidh dapat membatalkan wudhu'. Pada dasarnya ia
tidak membatalkan wudhu'. Kaidah asal dalam masalah ibadah adalah tauqifiyah
(hanya boleh ditetapkan dengan dalil). Seseorang tidak boleh menetapkan
bentuk-bentuk ibadah tertentu kecuali dengan dalil. Sebagian ahli ilmu berpendapat
bahwa jika darah yang keluar sangat banyak maka batallah wudhu'nya kecuali
darah haidh (yang sedikit atau banyak tetap membatalkan wudhu'). Namun bila
orang yang mengeluarkan darah tadi mengulangi wudhu'nya sebagai tindakan
antisipatif dan guna menghindarkan diri dari perbedaan pendapat, tentunya hal itu
lebih baik lagi. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
"Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak
meragukan."
H.R An-Nasa'i VIII/328, At-Tirmidzi VII/221 (lihat Tuhfatul Ahwadzi), Al-Hakim II/13
dan IV/99
(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah V/261. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah
wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)

'AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih. [3]