ان هذا القرءان يهدى للتى هى اقوم
"Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus ….[al-Isrâ`/17:9]
Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa 'Ala menyampaikan pujian terhadap
kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, yaitu Al-Qur`ân, sebagai kitab samawi paling agung dan paling
luas cakupannya menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir,
bersumber dari Rabbul-'Alamîn. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah,
aturan-aturan, dan nasihat-nasihat yang dikandungannya, Al-Qur`ân ini
menjadi faktor banyaknya manusia yang memperoleh hidayah, dan ia
mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan lebih terang. Maksudnya,
petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar dalam persoalan
aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak [1].
Ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat yang menyanjung
keutamaan Al-Qur`ân, ketinggian derajatnya dan kemuliaannya di atas
kitab-kitab sebelumnya. Di antara ayat-ayat pujian itu ialah sebagai
berikut.
"Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur`ân)
kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan
Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman".
[al-A'râf/7:52].
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah
diri". [an-Nahl/16:89]
Dalam dua ayat di atas, secara global Allah Subhanahu wa Ta'ala
menjelaskan kandungan Al-Qur`ân, sebagai hidayah menuju jalan terbaik,
yang paling adil dan benar. Seandainya kita berkeinginan menggali
perincian hidayahnya secara sempurna, niscaya kita akan mengarungi
seluruh kandungan Al-Qur`ân [2]. Seseorang yang memperoleh hidayah
Al-Qur`ân, niscaya ia menjadi insan yang sempurna, paling lurus dan
paling dipenuhi dengan petunjuk.[3]
Pemaparan berikut merupakan bukti kongkret mengenai petunjuk Al-Qur`ân
yang mengalahkan seluruh hasil cipta dan pemikiran manusia dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Juga ketetapan-ketetapan Al-Qur`ân yang
diingkari oleh kaum Mulhidûn, terutama yang mengundang timbulnya "reaksi
negatif", baik dari kalangan kaum muslimin sendiri yang lemah imannya,
dan terlebih lagi kaum kuffar. Dengan itu, kaum kuffâr berupaya
mencoreng citra Islam, baik secara langsung maupun menggunakan
tangan-tangan kaum muslimin yang lemah iman. Pencitraan buruk tentang
Islam ini, tidak lain karena kedangkalan pandangan mereka terhadap
syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sarat dengan hikmah.
Berikut ini beberapa contoh petunjuk Al-Qur`ân yang lebih baik daripada lainnya.[4]
1. Penetapan Hukum Rajam Bagi Pezina Yang Telah Menikah, Baik Laki-Laki
Maupun Wanita Dan Penjatuhan Hukum Pukul Bagi Yang Masih Lajang Disertai
Dengan Pengucilan Selama Satu Tahun.
Orang-orang mulhid menilai hukum rajam sadis dan ganas, tidak mengandung
hikmah dan tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, tidak
perlu diaplikasikan dalam peraturan yang mengikat manusia. Pandangan
seperti ini, tidak lain muncul karena dangkalnya pengetahuan mereka
untuk mengambil hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
Sebagai sanggahan, bahwasanya ketetapan tersebut berasal dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Mengetahui kemaslahatan makhluk-Nya. Dan
sebetulnya, hikmah dari hukum rajam ini sangat mudah untuk dipahami.
Yakni, ketika seseorang itu berzina, berarti ia melakukan pengkhianatan
yang sangat nyata. Dengan perzinaan ini, ia telah melakukan perbuatan
paling buruk yang dikenal oleh umat manusia. Secara fitrah, keburukan
dalam perbuatan zina itu telah diakui oleh semua manusia yang masih
lurus. Karena perzinaan itu telah menciderai kehormatan, mengotori
kesucian keluarga dan merusak garis keturunan di masyarakat.
Adapun wanita yang senang melakukan zina dengan lelaki manapun, maka ia
sama saja. Orang-orang seperti ini begitu kotor dan tidak pantas
memperoleh hak hidup lagi. Keberadaannya menjadi duri bagi masyarakat.
Oleh karenanya, al-Khâliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukumnya dengan
hukum bunuh, supaya perbuatan buruk para pezina ini dapat dimatikan,
dan menutup keinginan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang sama.
Hikmah lainnya dari hukum rajam ini, ialah bermanfaat bagi para pelaku
zina untuk membersihkannya dari perbuatan kotor yang pernah ia tempuh.
Hukum bunuh dengan rajam atasnya sangat mengerikan, karena kejahatan
yang dilakukan juga merupakan kejahatan yang tak terperikan, sehingga
hukuman yang diterimanya pun harus setimpat. Sebagaimana hukuman zina
bagi orang yang sudah pernah menikah, hukumannya sangat keras; karena
untuk memenuhi kebutuhan "biologisnya", sebenarnya ia bisa menikmatinya
dengan istrinya. Akan tetapi justru sebaliknya, ia menyalurkannya di
jalan yang salah dan berbahaya.
Ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa bersendikan pada
prinsip menyingkirkan bahaya dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat
mausia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Oleh karena itu,
tidak diragukan lagi, tindak pengkhianatan yang sangat berat pantas
dibalas dengan hukuman yang berat pula.
2. Hukum Qishash.
Ketetapan hukum ini sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman
masyarakat dari perbuatan saling bunuh. Seseorang yang sedang dilanda
emosi atau dendam, dan muncul keingina dalam hatinya untuk membunuh
orang lain, misalnya, maka ia akan teringat dengan hukum qishash.
Sejurus kemudian ia akan berpikir panjang jika ingin melakukan
pembunuhan. Dia akan mengurungkan niatnya, sehingga ia juga selamat dari
hukum bunuh, setelah orang yang ia incar juga selamat dari tangannya.
Dengan hukum qishash ini, tingkat kejahatan pembunuhan juga dapat dihambat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai ulil
albâb (orang-orang yang berakal), supaya kamu bertakwa"
[al-Baqarah/2:179].
Tidak perlu diragukan lagi, inilah aturan terbaik dan paling adil. Fakta
membuktikan kecilnya angka pembunuhan di negeri-negeri yang menjalankan
hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena hukum qishash menjadi kendali
kuat bagi masyarakat yang ingin berbuat kriminal dan pembunuhan.
Berbeda dengan pandangan musuh-musuh Islam, mereka mengopinikan
bahwasanya qishash berlawanan dengan semangat hikmah. Karena begitu
mudah mengurangi jumlah anggota masyarakat dengan vonis mati bagi pelaku
pembunuhan setelah kematian korban. Atau dengan dalih orang tersebut
harus dihormati hak hidupnya. Karena itu sangat asasi. Sehingga
pantasnya, para pelaku pembunuhan itu dihukum penjara saja.
Pendapat musuh-musuh Islam ini tentu tidak bernilai sama sekali, dan
jauh dari hikmah. Karena hukuman penjara tidak mampu mencegah praktek
pembunuhan. Jika hukuman tidak benar-benar membuat jera, maka akan
meningkatkan keinginan melakukan pembunuhan berikutnya dari orang-orang
yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Orang-orang yang melontarkan komentar di atas, pada hakikatnya merasa
"mengetahui" kemaslahatan manusia dan mencoba melakukan penentangan
terhadap hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka hanya memandang hak
hidup bagi si pembunuh, tetapi tidak peduli dengan nyawa korban yang
melayang sia-sia, tanpa alasan yang sah. Pendapat itu, hakikatnya juga
tidak menunjukkan sikap simpati kepada keluarga korban. Bahkan tidak
memikirkan kemaslahatan umat manusia secara umum yang nyawanya terancam
setiap saat, karena merasa tidak aman. Orang-orang yang berpaling dari
hukum Allah ini dan merujuk kepada hukum produk manusia ini, tidak
menyadari dampak buruk dari ketetapan tersebut. Karena memang mereka
bukan "ulil albaab" yang mampu berpikir jernih dan melakukan pengamatan
yang matang.[6]
3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.
Termasuk petunjuk Al-Qur`ân yang lurus, yaitu hukum potong tangan bagi
pencuri barang yang mencapai batas tertentu. Hal ini dinyatakan dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
[al-Mâidah/5:38].
Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'aliahi wa sallam menegaskan untuk
keluarganya: "Kalau Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong
tangannya".
Jumhur ulama menyatakan, hukum potong tangan itu dilakukan dari
persendian telapak tangan kanan, bukan sampai persendian siku. Jika
melakukan pencurian untuk kedua kali, maka bagian kaki kiri yang
dilenyapkan. Bila kembali mengulangi perbuatannya, tangan kirilah yang
dipotong. Seandainya masih tetap melakukan pencurian lagi, maka kaki
kirinya juga harus hilang.
Tangan pencuri pantas untuk dihilangkan, karena tangan tersebut keji dan
telah berbuat khianat. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya
supaya digunakan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan diridhai Allah
Subhanahu wa Ta'ala, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya,
dan mengambil peran dalam membangun masyarakatnya. Namun ia menggunakan
tangannya untuk khianat dengan mengambil harta orang lain tanpa alasan
yang dibenarkan. Kekuatan tangan dipergunakan untuk berbuat khianat.
Mengambil harta milik orang dengan cara seperti ini merupakan perbuatan
yang sangat buruk. Tangan yang kotor, berupaya menggoncangkan
ketentraman masyarakat. Sebab, harta memiliki peran penting terjaganya
stabilitas sosial. Maka al-Khaliq, yang menciptakan tangan tersebut,
menghukumnya dengan memotong dan melenyapkannya. Layaknya, anggota tubuh
yang telah rusak lagi membusuk yang akan menularkan penyakit pada
sekujur tubuh bila tidak diamputasi, sehingga tangan itu harus
dilenyapkan untuk mempertahankan tubuh itu dan membebaskannya dari
ancaman penyakit.
Hukum potong tangan juga berguna untuk membersihkan pelaku pencurian
dari dosa pencurian yang ia lakukan, sekaligus berfungsi sebagai
pengendali yang tegas di tengah masyarakat.
4. Islam Dan Kemajuan Teknologi.
Bagi yang mencermati kandungan syariah Islam, ia akan mengetahui secara
pasti bahwa kemajuan tidak bertentangan dengan komitmen (istiqomah)
menetapi nilai-nilai agama. Sebaliknya, musuh-musuh Islam menghembuskan
opini pada hati kaum muslimin yang lemah iman dan lemah akal, bahwa
kemajuan negara (Islam) tidak mungkin diraih kecuali dengan melepaskan
diri dari ikatan agama. Pernyataan demikian ini batil, sama sekali
sangat tidak beralasan, karena justru Al-Qur`aan menyeru kemajuan pada
seluruh aspek kehidupan, yang mempunyai nilai penting bagi dunia dan
agama. Akan tetapi, modernisasi yang diserukan harus tetap berada dalam
bingkai agama, ditempuh dengan etika-etika luhur dan petunjuk Ilahi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi …" [al-Anfâl/8:60].
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami.
(Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah
berulang-ulang bersama Dawud," dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan
kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu
kerjakan". [Saba`/34:10-11].
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : {(yaitu) buatlah baju besi yang
besar-besar dan ukurlah anyamannya}, menunjukkan persiapan dalam
menghadapi musuh. Sedangkan firman-Nya: {dan kerjakanlah amalan yang
shalih}, berisi petunjuk bahwa persiapan untuk menghadapi musuh
dikerjakan dalam bingkai agama yang haniif. Dan Nabi Dawud Alaihissalam
termasuk nabi yang termaktub dalam surat al-An'aam:
"… dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman,
Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik". [al An'âm/6:84].
Usai menyebut beberapa nabi (termasuk Nabi Dawud Alaihissalam), Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …." [al-An'âm/6:90].
Ini menjadi petunjuk, bahwa kita juga menjadi bagian dari perintah yang
ditujukan kepada Nabi Dawud Alaihissalam tersebut. Dalam melawan musuh,
kita wajib menyusun persiapan disertai dengan komitmen tetap berpegang
teguh dengan ajaran agama. Perhatikan firman Allah dalam surat
al-Anfâl/8 ayat 60, ini merupakan perintah yang pasti untuk
mempersiapkan segala kemampuan, andai pun kekuatan telah mengalami
kemajuan pesat. Ini merupakan perintah yang tegas untuk mengondisikan
diri dengan kemajuan dalam perkara-perkara duniawi, tidak jumud, dan
selalu melakukan inovasi. Akan tetapi, meskipun demikian pemanfaatan
hasil kemajuan itu harus diiringi dengan komitmen tetap berpegang teguh
dengan nilai-nilai agama Islam.
Orang-orang kafir meniupkan syubhat, antara kemajuan dengan komitmen
beragama, budi luhur dan akhlak mulia sangat jauh berseberangan. Kata
mereka, perbedaan ini ibarat dua obyek yang saling berlawanan. Seperti
perbedaan antara ada dan tiada, antara putih dan hitam, antara gerakan
dan diam. Jadi, antara kemajuan negara dan komitmen beragama tidak bisa
berjalan bersama dan mustahil.
Yang benar, kemajuan merupakan konsekuensi logis dari sikap komitmen
yang shahîh kepada agama. Maka hendaklah diwaspadai, lontaran kaum
kuffâr yang keliru tersebut memiliki tujuan terselubung, yaitu supaya
mudah memperdaya kaum muslimin yang lemah iman. Pada gilirannya nanti
untuk memudahkan jalan mereka menguasai kaum muslimin.
Seandainya seluruh kaum muslimin mengenal dan mengikuti ajaran agama
dengan baik, niscaya akan bersikap tegas kepada kaum kuffaar sebagaimana
generasi Salaf bersikap pada nenek moyang kaum kuffaar. Sebab, ajaran
agama tidak berubah. Akan tetapi, orang-orang yang telah terpedaya oleh
propaganda Barat, merasa aneh dengan ajaran Islam. Dan ini membuat
pandangan mereka kepada Islam buruk. Maka, Allah menjadikan mereka
sebagai budak orang-orang kafir yang jahat. Seandainya mereka mau
kembali memegangi agama Islam, niscaya kemuliaan, hegemoni, dan
kekuasaan akan kembali berada di genggaman kaum muslimin. Sehingga kaum
muslimin pun akan berperan sebagai pemimpin dunia. Allah berfirman :
"Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan
mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang
lain".[Muhammad/47:4].
Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon kepada-Mu iman yang tidak lepa,
nikmat yang tidak habis, dan menyertai Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam di surga yang paling tinggi selama-lamanya.[7]
Pelajaran Dari Ayat
1. Keutamaan Al- Qur`ân ul-Karim.
2. Petunjuk Al- Qur`ân paling benar, adil dan lurus.
3. Petunjuk Al- Qur`ân ul-Karim membentuk insan yang sempurna.
4. Kerugian bagi manusia yang berpaling dari petunjuk Al- Qur`ân. Wallahu a'lam.
Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cetakan Mujamma' Malik Fahd Madinah.
2. Adhwâ`ul-Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân, Muhammad al-Amîn
asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995 M.
3. Aisarut-Tafâsîr fi Kalâmil-‘Aliyyil-Kabîr, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri,
Maktabah ‘Ulum wal- Hikam, Cet. VI, Th. 1423 H – 2003 M.
4. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: ‘Abdur-Razzâq
al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cet. IV, Th. 1422 H – 2001M.
5. Jâmi'ul-Bayân 'an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr
ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
6. Taisîrul-'Allâm Syarhu 'Umdatil-Ahkâm 'Abdullah bin 'Abdir Rahmaan
Alu Bassaam Maktabah Dârul Faihâ`, Damaskus, Cet. I, Th. 1414 H – 1994
M.
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, ‘Abdur-Rahmân bin
Nashir as-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân al-Luwaihiq, Muassasah Risalah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Silahkan lihat Jâmi'ul-Bayân, 15/55. Al-Jâmi'u li Ahkamil-Qur`ân,
10/197. Tafsîrul-Qur`ânil- 'Azhîm, 5/49. Adhwâ`u al-Bayân, 3/372.
At-Taisîr, 483. Al-Aisar, 1/671.
[2]. Adhwâ`u al-Bayân, 3/372.
[3]. At-Taisîr, 483.
[4]. Dikutip dari Adhwâ`u al-Bayân.
[5]. Kaidah ini berlaku pada seluruh hukum dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
[6]. Taisîrul 'Allâm, 2/398.
[7]. Shahîh Mawâridu azh-Zham`ân, no. 2065.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar